Senin, 29 April 2013

USHUL FIQH



MAKALAH
 MASLAHAH MURSALAH DAN ISTISHAB
Di susun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Ushul fiqh
Dosen pengampu : Ambar Hermawan M.S.I.

Di Susun Oleh :
Kelas C
1. Robi’atul Adawiyah 202109320
2.Ulfatul Maula                       2021111089
3.Fitriasih                     2021111099
4. Nur Farikhah           202111

 
                                   






JURUSAN TARBIYAH / PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
 ( STAIN ) PEKALONGAN

BAB I

A.  PENDAHULUAN
Dalam kajian ushul fiqh ada pembahasan salah satunya tentang maslahah mursalah dan isthisab. Dimana pengertian maslahah mursalah itu sendiri yaitu kemaslahatan yang oleh syari’ tidak dibuatkan hukum untuk mewujudkannya,tidak ada dalil syara’ yang menunjukkan dianggap atau tidaknya kemaslahatan itu, dimana tujuan dari kemaslahatan tidak lain yakni untuk manfaat kehidupan ummat.
Selanjutnya yaitu tentang istishab, istishab yaitu menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa lalu dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya.
Dalam makalah ini, akan lebih lanjut dijelskan pula tentang macam-macam, syarat, rukun dan kehujjahan dari maslahah mursalah serta istishab itu sendiri.

B. RUMUSAN MASALAH
Dalam materi makalah ini, rumusan masalah yag kami kaji yaitu diantarnya :
1.    Bagaimana penjelasan lebih rinci tentang maslahah mursalah dan istishab dalam kajian ushl fiqh?
2.    Jelaskan macam, rukun dan syarat maslahah mursalah dan istishab ?
3.    Bagaimana kehujjahan dari maslahah mursalah dan istishab ?





C. PEMBATASAN  MASALAH
            Untuk pembahasan pada meteri maslahah mursalah dan istishab ini, setidaknya pemakalah membatasi dalam cakupan pembahasannya, agar tidak keluar dari melebar keluar dari inti pembahasan makalah ini sendiri. Adapun kami fokus membahas tentang pengertian maslahah mursalah dan istishab, bagaimana macam, rukun dan syarat serta penjelasn ringkasnya, dan kehujjahan dari maslahah mursalah mursalah dan istishab itu sendiri.
























BAB II
PEMBAHASAN
A.                Maslahah mursalah
a.    Pengertian
   Maslahah Mursalah menurut istilah terdiri dari dua kata yaitu maslahah dan mursalah. Maslahah berasal dari kata “shalaha” dengan penambahan “alif” diawalnya yang secara arti “baik” lawan dari kata fasad (buruk atau rusak). Maslahah adalah masdar dengan arti kata shalah yaitu “manfaat” atau “terlepas daripadanya kerusakan”.[1]
 Secara etimologis maslahah digunakan untuk menunjukan jika sesuatu atau seseorang menjadi baik, benar, jujur, adil atau secara alternatif menujukan keadaan yang mengandung kebijakan – kebijakan tersebut. Imam Ghozali mengemukakan bahwa pada prinsipnya Maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemdharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.[2]
Mursalah yaitu isim maf’ul (objek) dari fiil madhi (kata dasar) dalam bentuk tsulasi (kata dasar yang tiga huruf) yaitu رسل  dengan penambahan huruf alif diawalnya. Secara etimologi mursalah artinya terlepas atau bebas. Kata  terlepas atau bebas disisni dihubungkan dengan maslahah, maka maksudnya yaitu terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidaknya dilakukan.[3]

b.    Macam-macam maslahah              
Selanjutnya dalam rangka memperjelas pengertian maslahah mursalah, Abdul Karim Zaidan menjelaskan macam-macam maslahah, sebagai berikut:
1.    al-Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu maslahah yang secara tegas diakui oleh syari’at dan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikannya. Misalnya diperintahkan berjihad untuk memelihara agama dari rong-rongan musuhnya, diwajibkan hukuman qishas untuk menjaga kelestarian jiwa, ancaman hukuman atas peminum khamar untuk memelihara akal, ancaman hukuman zina untuk memelihara kehormatan dan keturunan, serta ancaman hukum mencuri untuk menjaga harta.
2.    al-Maslahah al-Mulgah, yaitu sesuatu yang dianggap maslahah oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyataannya bertentangan dengan ketentuan syari’at. Misalnya, ada anggapan bahwa menyamakan pembagian warisan antara anak laki-laki dan wanita adalah maslahah. Akan tetapi kesimpulan seperti itu bertentangan dengan syari’at, yaitu ayat 11 dari surat an-Nisa’ yang menegaskan bahwa pembagian anak laki-laki dua kali pembagian anak perempuan.
3.    al-Maslahah al-Mursalah, yaitu sesuatu yang dianggap maslahah namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya.
Maslahah yang merupakan pembahasan pokok dari makalah ini adalah yang ketiga yaitu al-Maslahah al-Mursalah. Maslahah macam ini terdapat dalam maslahah-maslahah muamalah yang tidak ada ketegasan hukumnya dan tidak pula ada bandingannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Misalnya, peraturan lalulintas dengan segala rambu-rambunya. Peraturan seperti itu tidak ada dalil khusus yang mengaturnya, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam Sunnah Rasulullah namun, peraturan seperti itu sejalan dengan tujuan syari’at, yaitu dalam hal ini adalah untuk memelihara jiwa dan harta.[4]
Beberapa tokoh mendefinisikan tentang maslahah mursalah, yaitu:
1.    Al-ghazali: “ apa-apa yang yang tidak ada bukti baginya dari syara’dalam bentuk nash tertentu yang memebatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.[5]
2.    Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahawa maslahah mursalah yaitu segala kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan – tujuan syari’ dan kepadanya tidak ada dalil khusus yang menunjuan diakui atau tidaknya.
3.    Yusuf Musa berpendapat maslahah mursalah yaitu segala kemaslahatan yang tidak diatur oleh ketentuan syara’ dengan mengakuai atau tidaknya,akan tetapi mengakuinya dapat menarik manfaat dan menolak kemadharatan.[6]
Adapun menurut istilah ulama usul maslahah mursalah yaitu kemaslahatan oleh syari tidak dibuatkan hukum untuk mewujudkannya, tidak ada dalil syara’ yang menunjukan dianggap atau tidaknya kemaslahatan itu.[7]

c.    Syarat-syarat
Ulama menetapkan tiga syarat dalam menjadikan maslahah mursalah sebagai hujjah,yaitu:
Pertama: maslahah mursalah adalah maslahah yang hakiki, bukan bersifat umum, dalam artian bahwa maslahah mursalah dapat diterima oleh kal sehat dan benar-benar mendatangkan manfaat bagi manusia dan menghindarkan madharat dari manusia secara utuh.[8]
Kedua: Penetapan hukum untuk kemaslahatan ini tidak boleh bertentangan dengan hukum atau dasar yang ditetapkan dengan nash ataupun ijma’.
Ketiga:Maslahah mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan , yang apabila masalahnya tidak diselesaikan dengan car ini, maka maka umata akan berada dalam kesemputan hidup, dnagna arti harus ditempuh untuk menghindarkan umat dari kesulitan.
Keempat: maslahah mursalah harus sejalan dengan maksud-maksud syara’ (Allah) dalam mensyari’atkan hukum, dan dapat diterima dan dicapai secara logis oleh akal sehat.[9]

d.   Kehujjahan
Dalam memandang maslahah mursalah disini, terdapat perbedaan pandangan dikalangan ulama. Perbedaan ini disebabkan karena adanya pendapat beberapa ulama yanng mengatakan bahwa penggunaan maslahah mursalah sebagai ijtihad adalah karena tidak adanya dalil khusus yang menyatakan diterimanya maslahah itu oleh syari’ baik secara langsung maupun tidak langsung.
Adapun ulama yang menjadikan maslahah mursalah sebagai hujjah tentu memiliki alasan. Dalam hal ini ulama yang sepakat menjadikan maslahah mursalah sebagai hujjah yaitu imam malik. Imam malik memiliki alasan yaitu:
a). Praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahah mursalah adalah sebagai berikut:
1. Sahabat menyimpulkan al-quran ke dalam beberapa mushaf, padahal hal ini tidak pernah dilakukan di masa Rasulullah SAW. Alasannya tidak lain kecuali semata-mata karena maslahat, yaitu menjaga al-Quran dari kepunahan aatu kehilangan kemutawaturannya karena meninggalnya sejumlah besar hafidh dari generasi sahabat.
 2. Khulafa ar-rasyidin menetapkan menanggung ganti rugi kepada para tukang, bahwa menurut hokum asal kekuasaan mereka di dasarkan atas kepercayaan. Akan tetapi seandainya mereka tidak di bebani tanggung jawab mengganti ganti rugi, mereka akan berbuat ceroboh dan tidak memenuhi kewajibannya untuk menjaga harta benda orang lain yang di bawah tanggung jawabnya.
3. Umar bin Khatab R.A memerintahkan kepada para penguasa (pegawai negeri) memisahkan antara garta kekayaan pribadi dengan harta yang di peroleh dari kekuasaannya. Karena Umar melihat bahwa dengan cara itu pegawai dapat menunaikan tugasnya dengan baik, tercegah dari melakukannya manipulasi atau melakukan hal yang tidak halal.
4. Umar bin Khatab R.A sengaja menumpahkan susu yang di campuri dengan air, guna member pelajaran kepada mereka yang berbuat mencampur susu dengan air. Sikap umar itu tergolong dalam kategori maslahat.
5. Para sahabat menetapkan hukuman mati kepada semua anggota kelompok (jamaah), lantaran membunuh satu orang jika mereka secara bersama-sama melakukan pembunuhan tersebut, karena memang kemaslahatan menghendakinya.
b). Adanya maslahat sesuai dengan maqasid as-syari’ (tujuan-tujuan syari’),artinya denagan mengambol maslahat berarti sama dengan merealisasikan maqasid as-Syari’. Sebaliknya mengesampingkan  maslahat berarti mengesampingkan maqasid as-Syari’. Sedangkan mengesampingkan maqasid as-syari’ adalah batal. Oleh karena itu, adalah wajib mengginakan dalil maslahat atas dasar bahwa ia adalah sumber hukum pokok (ashl) yang berdiri sendiri. Sumber hukum ini tidak keluar dari ushul, bahkan terjadi sinkronisasi anatar maslahat dan maqasid as-syari’.
c). Seandainya maslahat tidak di ambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahat selama berada dalam konteks maslahat-maslahat syar’iyyah, maka orang-orang mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan.[10]

B.       Istishab

1.        Pengertian
Istishab menurut bahasa Arab ialah Pengakuan adanya perhubungan. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh, adalah Menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa lalu dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya.[11]
Sesuatu itu pada prinsipnya diperbolehkan. Pernah seseorang betanya kepada seorang mujtahid tentang hukum yang bersangkutan dengan hewan, benda padat, tumbuh-tumbuhan, baik yang berupa makanan maupun minuman, atau salah satu dari tindakan dan perbuatan yang tidak pernah diatur oleh dalil syari’at, tentang bagaimana hukumnya. Dalam hal ini hukum memperbolehkan kalau tidak ada dalil untuk mengubahnya maka sesuatu itu tetap diperbolehkan. Hal tersebut didasarkan pada firman Allah dalam al-Qur’an:
هُوَالَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَّافِى اْلاَرْضِ جَمِيْعًا
“ Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu...” (al-Baqarah : 29)[12]

2.        Macam-macam
Muhammad Abu Zahrah menyebutkan empat macam istishab seperti berikut:
a.         Istishab al-ibahah al-ashliyah, yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu yaitu mubah (boleh). Istishab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang muamalat.landasannya adalah sebuah prinsip yang mengatakan, bahwa hukum dasar dari sesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam kehidupan umat manusia selama tidak ada dalil yang melarangnya. Misalnya makanan, minuman, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain selama tidak ada dalil yang melarangnya adalah halal dimakan atau boleh dikerjakan. Prinsip tersebut berdasarkan ayat 29 dari surat al-Baqarah;
uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏJy_ §NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4 uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ  
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.”
Ayat tersebut menegaskan bahwa segala yang ada di bumi dijadikan untuk umat manusia dalam pengertian boleh dimakan makanannya atau boleh dilakukan hal-hal yang membawa manfaat bagi kehidupan.
b.         Istishab al-baraah al-ashliyah, yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang mengubah statusnya itu, dan bebas dari hutang atau kesalahan sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu.
c.         Istishab al-hukm, yaitu istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, seorang yang memiliki sebidang tanah atau harta bergerak seperti mobil, maka harta miliknya itu tetap dianggap ada selama tidak terbukti dengan peristiwa yang mengubah status hukum itu, seperti dijual atau dihibahkannya kepada pihak lain.
d.        Istishab al-wasf, yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada  bukti bahwa ia telah wafat.[13]

3.        Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Istishab
Para ulama Ushul Fiqh, seperti yang dikemukakan Muhammad Abu Zahrah sepakat bahwa tiga macam istishab yang disebut pertama di atas adalah sah dijadikan landasan hukum. Mereka berbeda pendapat pada macam yang keempat, yaitu Istishab al-wasf. Dalam hal ini ada dua pendapat :
a.         Kalangan Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa istishab al-wasf dapat dijadikan landasan secara penuh baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan haknya yang sudah ada.
b.        Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat, bahwa istishab al-wasf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah ada bukan untuk menimbulkan hak yang baru.[14]

4.      Kehujahan
Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama ushul berkata, “sesungguhnya istishab adalah akhir tempat beredarnya fatwa”. Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan untuk mereka.
Istishab juga telah dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syariat, antara lain sebagai berikut, :Asal sesuatu adalah ketetapan yang ada menurut keadaan semula sehingga terdapat suatu ketetapan yang mengubahnya”. Sesuai dengan kaidah:
اَلْأَصْلُ فِى أَلأَشْيَاءِ اَلاْءِ بَا حَةُ
Artinya:
“Asal segala sesuatu itu adalah kebolehan”.
Pendapat yang dianggap benar adalah Istishab bisa dijadikan dalil hukum karena pada hakikatnya dalillah yang telah menetapkan hukum tersebut. Istishab itu tiada lain adalah menetapkan dalalah dalil pada hukumnya.[15]
                                                    














BAB  III
PENUTUP























DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria , Zein, M. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana.
Khallaf, Syekh Abdul Wahab. 1999. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Aibak, Kutbuddin.  2008. Metodologi Pembaharuan Hukum Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Zuhri, Saifudin. 200 . Ushul Fiqh “Akal sebagai Sumber Hukum Islam” . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syafe’i, Rachmat .  1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV.Pustaka Setia.




[1] Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, cet 1. (Yogayakarata: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.187.
[2] Ibid,.hlm.188.
[3] Ibid.,hlm.199.
[4] Satria Effendi, M.Zein, Ushul Fiqih, cet 1, ( Jakarta:Kencana.2005),  hlm.149-150.
[5] Kutbuddin Aibak, op.cit, hlm.200.
[6] Saifuddin zuhri,  Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 81-82.
[7] Buku asyef, hlm.
[8] Buku asyef, hlm.112.
[9]Saifuddin Zuhri, hlm.84.
[10] Kutbuddin Aibak, op.cit.,hlm.203.
[11] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, cet 1. (Yogyakarta: Pustaka Setia, 1999), hlm.125.

[12] Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, cet.4, (Jakarta:PT.Rineka Cipta.1999), hlm.107.
[13] Satria Effendi, M.Zein, op.cit. hlm.160-161.
[14] Ibid.,hlm.162
[15] Rahmat Syafe’i, op.cit.,hlm.126-127.